Hikmah Disyariatkan Ibadah Haji

Diantara kandungan ajaran islam adalah syari’at, yakni aturan-aturan yang berupa perintah dan larangan, baik yang didasarkan pada Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Diantara syari’at itu ada yang bersifat ibadah, yang dalam hal ini tidak boleh direkayasa oleh siapapun. Sebab, ia merupakan perintah khusus dari Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan tata cara pelaksanaan yang telah ditentukan seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan sebagainya.
Bila Allah SWT  memberikan suatu syari’at, yakni perintah dan larangan tentu ada hikmah atau makna yang menjadi motivasi atau penyebab, mengapa hal itu diperintahkan? Atau mengapa hal itu dilarang?.  Tidaklah patut bagi Allah, jika ia memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat, haji dan sebagainya. Kalau memang tidak ada hikmah atau makna yang perlu ditangkap. Sehingga berbagai pekerjaan ibadah itu dilakukan tidak hanya sekedar dilaksanakan saja.
 Firman Allah SWT:

 Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
(QS. Al-Haj : 32)
Dalam Kenyataan, ibadah banyak dipraktekkan sebatas melaksanakan perintah, belum dipahami apa kandungan makna dan pesan dari berbagai bentuk atau symbol-simbol ibadah yang dilakukan itu. Misalnya, mengapa ketika shalat harus menghadap Ka’bah? Mengapa kita diperintahkan untuk berhaji ke Makkah? Mengapa ketika berhaji kita harus Thawaf, Sa’I, Wukuf dan sebagainya? Hal-hal yang semacam itu itu, sekalipun merupakan ibadah murni (Mahdhah), tentu hal itu ada pesan-pesan dan makna-makna yang terkandung didalamnya.
Dalam berbagai amaliyah haji, kadang-kadang sulit bagi akal manusia untuk menemukan atau mengungkapkan berbagai makna dan hikmah yang tersirat di dalamnya, bahkan sepintas terlihat ada sebagian yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan pikiran yang normal, misalnya memotong rambut, berlari kecil ketika sa’i dan sebagainya. Memang terkadang sebagian pekerjaan haji ada yang diperlukan hanya berupa ibadah murni (mahdhah), yakni karena semata-mata perintah Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
“Aku datang berhaji yang benar-benar merupakan pengabdianku (ibadah) dan perhambaanku (kepada Allah).” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani)
Kata ta’abbu dan warriqa, artinya pengabdiab (ibadah) dan penghambaan kepada Allah diatas hanya ditemukan dalam urusan ibadah haji yang menunjukan aspek ubudiyah yang tertinggi dan membuat ia lebih diutamakan dari pada ibadah lainnya.
Kewajiban Ibadah Haji mengandung banyak hikmah besar dalam kehidupan rohani seorang Mukmin, serta mengandung kemaslahatan bagi seluruh umat islam pada sisi agama dan dunianya. Diantara hikmah itu adalah :
  1.  Haji merupakan manifestasi ketundukan kepada Allah SWT semata. Orang yang menunaikan haji meninggalkan segala kemewahan dan keindahan, dengan mengenakan busana ihram sebagai menifestasi kefakirannya dan kebutuhannya kepada Allah SWT, serta menanggalkan masalah duniawi, dan segala kesibukan yang dapat membelokannya dari keikhlasannya menyembah Tuhannya. Dengan berhaji, seorang muslim menampakkn keinginan untuk mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya. Ketika wukuf di Arafah, ia tunduk dihadapan Tuhannya, bersyukur atas seluruh nikmat dan keutamaan yang dianugerahkan kepadanya seraya memohon ampun atas dosa-dosanya, baik dosanya sendiri maupun dosa keluarganya. Di dalam Thawaf di sekeliling Ka’bah ia berlindung disamping tuhannya, memohon perlindungan dari dosa, hawa nafsu dan godaan syetan.
  2.  Melaksanakan kewajiban haji merupakan ungkapan syukur atas nikmat harta dan kesehatan. Keduanya merupakan kenikmatan terbesar yang diterima manusia di dunia. Dalam haji ungkapan syukur atas kedua nikmat terbesar yang diterima manusia di dunia. Dalam haji ungkapan syukur atas kedua nikmat terbesar ini dicurahkan, dan dalam haji pula manusia melakukan perjuangan jiwa raga, menafkahkan hartanya dalam rangka mentaati, serta mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tentu mensyukuri nikmat adalah kewajiban yang diakui oleh akal yang sederhana sekalipun dan diwajibkan oleh syariat agama.
  3.  Haji menempah jiwa agar memiliki semangat juang yang tinggi. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran, daya tahan, kedisiplinan, dan akhlak yang tinggi agar manusia saling menolong satu sama lain. Mereka yang menunaikan ibadah haji telah menempuh perjalanan yang sulit untuk berkumpul di Makkah, kemudian bergerak bersama pada hari ke 8 bulan Dzulhijjah guna melakukan manasik haji. Mereka bergerak dan menunaikannya secara bersama pula. Mereka semua diliputi dengan kesenangan hati. Tidak memperdulikan kesesakan dan tidak merasa tergangu oleh beratnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Haji merupakan perkemahan rabbani, yang digerakkan dan disetir oleh penuntun rohani dari Yang Maha Kuasa, yang secara sukses mengatur beratus-ratus ribu bahkan berjuta-juta manusia. Kekuatan manusia tentulah akan gagal dalam mengatur pekerjaan raksasa semacam ini. Melihat hal tersebut orang yang memiliki nalar jernih, akan berpikir dan percaya bahwa jalan islam adalah jalan dan tujuan perjuangan umat dalam kehidupan. 
  4. Umat islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada pusat pengendali roh dan kalbu mereka. Satu sama lain saling menyapa dan saling mengasihi. Di sana segala perbedaan antara manusia menjadi sama: perbedaan antara kaya dan miskin, antara jenis kelamin dan warna kulit maupun ras dan suku bangsa. Mereka semua bersatu dalam suatu konferensi manusia yang terbesar, yang diwarnai kebaikan, kebijakan dan permusyawarahan, serta sikap saling menasehati, saling menolong dalam kebaikan. Tujusn utamanya adalah meningkatkan diri hanya kepada Allah SWT. 
  5. Haji menyimpan kenangan di hati, mampu membangkitkan semangat ibadah yang sempurna dan ketundukan tiada henti kepada perintah Allah SWT. Haji juga mengajarkan keimanan yang menyentuh jiwa dan mengarahkannya pada Tuhan dengan sikap taat dan menghindar kesenangan duniawi.